Menyusun Kuesioner, Mudah Kah? (Part ½)

Sudah beberapa hari ini, status skype saya “Developing questionnaire”. Beberapa sahabat saya tiba-tiba mengirimkan beberapa pertanyaan terkait penyusuan kuesioner. “Gimana sih buat kuesioner itu?” pintah teman saya itu. Teman yang lainnya malah melantunkan “Kalau saya bisa modifikasi kuesioner tapi kalau buat dari nol, belum pernah?”

Saya setuju dengan pendapat sebagian orang bahwa menyusun kuesioner tak semudah yang kita bayangkan. Butuh berhari-hari untuk memikirkan kuesioner yang benar-benar berkualitas 🙂  Namun bagi teman-teman yang belum pernah bersentuhan dengan seluk beluk pembuatan kuesioner, tak perlu takut atau minder. Semua bisa dipelajari. Sulit tapi bisa. Setuju kan?

Nah, sebelum saya uraikan cara efektif dan effisien menggarap kuesioner, ada baiknya, saya pingin tanya terlebih dahulu nih:

Menurut teman-teman nih, apa sih kriteria kuessioner yang berkualitas itu?

Silahkan berikan komentar ya. Setelah saya dapatkan jawaban teman-teman, akan saya ulas lebih lanjut lagi mengenai seluk beluk penyusunan kuesioner.

Hantu Itu Bernama “Order Effect”

Belum lama ini teman bermain saya semenjak kuliah menghubungi saya. Soalan yang ingin sekali ia tanyankan seputar research. Terutama terkait dengan testing product. Sudah beberapa kali ia melakukan testing product, namun ia merasakan beberapa researchnya cukup membingungkan. Yang selalu menjadi tandatanya besar dalam benaknya yaitu hasil testing product dengan metode sequential monadic (setiap orang mencoba dua produk atau lebih). Ia sempat mempertanyakan mengenai ke-valid-an hasil testing product yang menggunakan metode ini. Baginya hasil testing product dengan sequential monadic tak selamanya menjadi acuan yang tepat. Pasalnya, ditempatnya bekerja standard action yang kerap kali diberlakukan yaitu sequential monadic. Ia pun mulai kritis menyikapi permasalahan testing product ini. Continue reading